Fungsi dan kedudukan arsip dalam kehidupan baik secara pribadi, organisasi, berbangsa dan bernegara, maupun dalam konteks peradaban sangat penting. Hal ini sangat kontras atau bertentangan jika disandingkan dengan kondisi umum kearsipan khususnya di Indonesia. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak orang dan lembaga yang belum melakukan penyelenggaraan kearsipan dengan baik. Bukti ketidakcocokan antara persetujuan publik tentang pentingnya arsip dengan perilaku berkearsipan adalah berbagai kasus kehilangan arsip, penumpukan arsip kacau, pemusnahan arsip tidak sesuai prosedur, sulitnya mendapatkan informasi yang bersumber dari arsip secara cepat dan tepat, minimnya SDM kearsipan, tidak terpenuhinya fasilitas sarana prasarana kearsipan sesuai standar, sekaligus minimnya regulasi di bidang kearsipan, serta masih belum dianggapnya bidang kearsipan maupun profesi kearsipan sebagai sesuatu yang “bergengsi”.
Kondisi umum pola kearsipan publik ini mempengaruhi perkembangan kearsipan. Perkembangan kearsipan nasional bergerak lamban dan jika dibandingkan dengan bidang keilmuan lainnya mengalami ketertinggalan yang cukup jauh. Hal ini dapat dilihat dari masih minimnya sumber ilmu (referensi) kearsipan, minimnya hasil kajian/ penelitian dan publikasi kearsipan, minimnya lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu kearsipan, serta terbatasnya para pakar kearsipan. Kearsipan selama ini berkembang dalam wilayah yang bersifat teknis praktis. Inilah yang menjadi salah satu sebab arsip menjadi bidang yang terpinggirkan dan tidak bergengsi. Arsip lebih dipahami dan dianggap sebagai hal-hal teknis saja yang tidak memerlukan pembahasan dan pengkajian ilmiah. Lebih tepatnya lagi kearsipan belum sepenuhnya dipandang atau diposisikan sebagai suatu disiplin ilmu.
Akibat pandangan ini, dunia kearsipan sebagian besar diisi oleh SDM dengan kualifikasi “second class”. Para pimpinan yang memiliki kewenangan dalam penempatan SDM berpikir bahwa kearsipan adalah hal teknis yang mudah dilakukan dan dapat dilakukan oleh siapapun tanpa tuntutan atau syarat keahlian tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh anggapan bahwa kearsipan bukan ilmu yang membutuhkan keahlian serta kearsipan bukan bidang keilmuan yang strategis dan penting dalam kehidupan.Pemahaman arsip itu penting, masih terbatas pada hal teknis. Dengan memenuhi kebutuhan yang bersifat teknis seperti sarana dianggap sudah cukup untuk mengembangkan kearsipan, padahal bukan demikian. Hal ini bukan sepenuhnya kesalahan publik tetapi juga para pelaku kearsipan serta seluruh perangkat kearsipan baik itu tenaga profesionl kearsipan, pengambil kebijakan kearsipan, maupun peraturan-peraturan kearsipan yang mensosialisasikan peran kearsipan berkutat diseputar hal teknis administrasi.
Pemahaman peran arsip yang terbatas pada hal teknis ini secara tidak langsung menjadi penghalang bagi para pakar atau ilmuwan untuk tertarik dan berminat mendalami dan mengembangkan kearsipan karena kearsipan dianggap tidak memiliki fungsi strategis jangka panjang. Kondisi inilah yang menjadikan kearsipan menjadi wilayah yang marginal dan tertinggal dengan bidang-bidang lainnya. Pada dasarnya ada fungsi lain arsip yang lebih mendasar sebagai kebutuhan dasar kehidupan yaitu arsip sebagai sumber ilmu pengetahuan. Apabila pemahaman ini lebih ditekankan pada publik, tentu saja akan mempengaruhi dan mendorong publik untuk tertarik mempelajari dan mengembangkan kearsipan.
Siapa yang menyangkal bahwa ilmu pengetahuan itu tidak penting dalam kehidupan? Atau siapa yang tidak memerlukan ilmu pengetahuan dalam kehidupannya? Tentu semua sependapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan syarat utama bagi makhluk hidup untuk dapat hidup dengan bermartabat. Ilmu pengetahuanlah yang membedakan kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Jika ilmu pengetahuan itu penting maka secara otomatis sumber ilmu pengetahuan juga penting. Supaya ilmu pengetahuan terus maju berkembang dan dapat meningkatkan martabat kehidupan manusia maka sumber ilmu pengetahuan itu harus dijaga, dikelola, dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.