Terbitan Kearsipan di Indonesia masih sangat sedikit. Di level pusat, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pernah menerbitkan “Lembar Berita Sejarah Lisan” dan “Berita Arsip Nasional RI” pada era 1980-an dan 1990-an. Pasca reformasi ANRI melahirkan lagi beberapa terbitan diantaranya “Majalah Arsip” dan “Jurnal Kearsipan”. Di beberapa daerah, terbitan kearsipan juga pernah muncul. Badan Arsip Daerah (BAD) Jawa Barat pernah membuat terbitan dengan nama “Gema Arsip”, BAD Jawa Timur menerbitkan “Suara Badar”, bahkan lembaga kearsipan tingkat kabupaten juga membuat terbitan seperti “Buletin Arsip” yang dibuat oleh Kantor Arsip Daerah Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Terbitan Kearsipan juga berusaha dilahirkan oleh perguruan tinggi terutama yang memiliki jurusan atau Program Studi Diploma Kearsipan. Sebagai contoh Prodi Diploma Kearsipan UGM pernah menerbitkan “Jurnal Kearsipan” kemudian “Jurnal Diploma” pada akhir tahun 1990-an. Kira-kira tiga kali terbit, jurnal itu tiba-tiba berhenti, baru tahun 2012 terbitan tersebut muncul kembali dengan title “Jurnal Arsip Vokasi UGM”, seiring bergantinya pengelola Prodi Diploma Kearsipan dari Fakultas Ilmu Budaya ke Sekolah Vokasi. Di samping Prodi Kearsipan, Arsip UGM juga menerbitkan buletin bernama “Khazanah” yang terbit tiap 4 bulan sekali.
Dari sekian terbitan kearsipan yang ada, yang bertahan sampai saat ini dapat dihitung dengan jari satu tangan. Salah satu kendala umum yang terjadi pada penerbitan-penerbitan kearsipan adalah sulitnya mendapatkan naskah. Penebitan kearsipan baik berupa jurnal, buletin, majalah, maupun news letter sering berhenti terbit karena kekurangan tulisan. Untuk menjalankan terbitan para pengelola terpaksa harus berjibaku menulis sendiri atau sering juga meringkas karya-karya ilmiah yang pernah ada dan tugas akhir mahasiswa. Para tenaga profesional kearsipan (arsiparis) dan peminat kearsipan merasa kesulitan untuk membuat tulisan tentang kearsipan. Bahkan ada sementara arsiparis yang tidak tahu harus mengangkat tema apa jika didorong untuk menulis.
Di sela-sela acara Rakor Kearsipan yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 – 29 Mei 2013 di Hotel Sahid Jaya Jakarta, masalah penulisan kearsipan pernah dibahas oleh panitia dan peserta yang berstatus sebagai arsiparis. Intinya para panitia yang biasanya juga menjadi pembina dan penilai arsiparis di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong dan mengharap para arsiparis supaya lebih giat menulis tentang kearsipan. Hal itu dikarenakan kesadaran membuat karya tulis di kalangan arsiparis masih rendah. Padahal penulisan dan penerbitan karya ilmiah mempunyai nilai kredit yang tinggi, sekaligus sebagai media publikasi dan sosialisasi kearsipan.
Keluhan tentang keterbatasan tema yang dapat dituangkan menjadi karya tulis kearsipan juga disuarakan para mahasiswa. Mereka merasa tidak puas kalau karya tulis untuk tugas akhirnya selalu bertema yang itu-itu saja. Dengan kata lain mereka lebih puas jika tema yang diangkat tidak sama dengan tema yang sudah pernah ditulis mahasiswa sebelumnya. Namun sayang, di saat yang sama idealisme tersebut kurang didukung oleh wawasan dan pengetahuan yang cukup. Mereka akhirnya kebingungan mencari tema yang menarik sekaligus variatif.
Apabila gambaran yang akan ditulis dan tema tulisan saja tidak terbayang, bagaimana akan wujud karya tulis yang baik, variatif dan dalam jumlah yang banyak dan terus menerus. Ada hal pokok yang harus diungkap agar kesulitan terkait
penerbitan yang kekurangan naskah, arsiparis yang bingung harus menulis tentang apa, dan mahasiswa yang menginginkan tugas akhirnya variatif tidak sama dengan tema-tema sebelumnya dapat diatasi.