oleh Azmi
Pada akhir 2015 masyarakat Asia Tenggara akan memasuki era baru, yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC), yang merupakan era pasar bebas di wilayah Asia Tenggara. Indonesia sebagai negara anggota ASEANdengan jumlah penduduk terbanyakdan wilayah terluas, tentunya akan merasakan dampak langsung atas pemberlakuan MEA.
Masyarakat Indonesia harus mempersiapkan diri secara baik untukmenghadapi persaingan yang akan terjadi nanti dalam MEA. Hal ini harus dilakukan mengingat dampak kebijakan MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, perawat, pengacara, akuntan, tenaga kerja kearsipan, dan lain-lain. Intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang semula tertutup atau minim tenaga asingnya.
Riset terbaru dari Organisasi Perburuhan Dunia atau International Labor Organization (ILO) menyebutkan pembukaan pasar tenaga kerja mendatangkan manfaat yang besar. Selain dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di Asia Tenggara. Boston Consulting Group data 2013 memperkirakan, pada 2020 akan terjadi kekurangan tenaga kerja sebanyak 50 persen untuk mengisi lowongan jabatan (Kompas, 12/7/2015).
Jika masyarakat Indonesia tidak mengantisipasi hal tersebut dengan profesionalisme, bukan tidak mungkin banyak pekerjaan di negeri ini akan diambil alih tenaga kerja asing termasuk lapangan kerja kearsipan. Di sisi lain, hal ini sebenarnya juga memberikan peluang bagi Indonesia untuk bisa menguasai pasar tenaga kerja kearsipan di Asia Tenggara. Dengan demikian, dapat memicu pertumbuhan ekonomi dan kemajuan di bidang kearsipan Indonesia.
Kehadiran MEA membuat pertanyaan tentang kualitas tenaga kerjakearsipan Indonesia semakin penting untuk dijawab. Prinsip free flow of skilled labor and professionals yang diusung negara-negara ASEAN untuk
memuluskan perdagangan bebas regional ASEAN membuat tantangan kualitas tenaga kerja kearsipan semakin nyata. Jadi memunculkan satu pertanyaan tentang “Apakah tenaga kerja Indonesia siap menghadapinya?.”
Sebenarnya ada apa di balik kecemasan akan era baru yang bernama MEA di tengah masyarakat Asia Tenggara? Betulkah Indonesia merupakan negara yang paling belum siap menghadapi MEA, sehingga Indonesia hanya akan menjadi negara “pasar besar” bagi tenaga kerja kearsipan negara tetangga?
Sementara tenaga kerja kearsipan Indonesia hanya akan pasrah menghadapi situasi dan kondisi itu tanpa bisa sebaliknya “menyerbu” negara-negara ASEAN dengan tenaga kerja kearsipan yang unggul.
Bertolak dari hal tersebut tenaga kerja kearsipan Indonesia membutuhkan suatu strategi yang tepat untuk menghadapi MEA, sehingga MEA bukan sebagai ancaman (threat) akan tetapi lebih membuka peluang (opportunity) bagi tenaga kerja kearsipan Indonesia untuk mengisi berbagai jabatan kearsipan di negara–negara ASEAN.