Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan universitas pertama yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI). UGM dilahirkan dalam suasana penuh semangat dan harapan di tengah-tengah kancah perjuangan merebut kembali kemerdekaan. Universitas tersebut merupakan gabungan berbagai perguruan tinggi yang sudah ada sebelumnya. Tepat setengah tahun setelah Kemerdekaan Indonesia yaitu pada 17 Februari 1946 berdirilah perguruan tinggi swasta bernama Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada (BPTGM) di Yogyakarta. Setelah itu secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 2 tahun, antara tahun 1946 – 1948, Pemerintah Indonesia yang mengungsi ke Yogyakarta juga telah mendirikan beberapa perguruan tinggi. Di Yogyakarta pemerintah mendirikan Sekolah Tinggi Teknik dan Akademi Ilmu Politik. Di Klaten berdiri Perguruan Tinggi Kedokteran, Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan, dan Perguruan Tinggi Pertanian. Sementara di Solo Pemerintah membangun Perguruan Tinggi Kedokteran (Bagian Klinik) dan Balai Pendidikan Hukum. Didorong oleh cita-cita pemerintah untuk memiliki universitas nasional sendiri dan didasari oleh semangat dan kebesaran jiwa semua pihak, akhirnya kedelapan lembaga tersebut digabung menjadi sebuah universitas dengan nama ”Universiteit Negeri Gadjah Mada”. Penggabungan tersebut disyahkan melalui Peraturan Pemerintah No. 23 tanggal 16 Desember 1949.
Pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya telah dimulai pada masa kolonial Belanda, namun sempat terhenti sebentar pada tahun 1942 di awal masa pendudukan Jepang. Tujuh dari delapan perguruan tinggi di atas (selain BPTGM) bahkan sudah dirintis oleh Belanda dan Jepang di berbagai kota besar di Indonesia, seperti: Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan para mahasiswa mengambil alih perguruan-perguruan tinggi tersebut dan menyerahkan kepemimpinannya
pada orang Indonesia. Sayang kegiatan pendidikan oleh orang Indonesia tidak berlangsung lama menyusul kedatangan Tentara Sekutu dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration – tentara Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia).
Satu demi satu kota-kota tersebut jatuh ke tangan Sekutu-Belanda. Keadaan ini memaksa pemindahan ibukota negara ke Yogyakarta pada bulan Januari 1946. Perpindahan ibukota memicu para mahasiswa, dosen dan orang-orang yang setia pada RI untuk memindahkan kegiatan pendidikan dan berbagai fasilitasnya ke Yogyakarta. Usaha yang berat dan penuh resiko karena dalam situasi perang. Pemindahan harus dilakukan sembunyi-sembunyi dan bertahap. Karena di Yogyakarta tidak cukup tersedia gedung dan perumahan, akhirnya perpindahan perguruan-perguruan tinggi tersebut meluber ke Klaten dan Solo.